Senin, 15 Februari 2016

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN

A.    Pendahuluan
Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara garis besarnya, makalah ini akan mencoba untuk melihat konsep islamisasi pengetahuan dalam pandangan Syed Naquib al-Attas dan Ismail R. al-Faruqi dari sisi-sisi yang meliputi latar belakang munculnya gagasan islamisasi, mafhum islamisasi dan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses islamisasi.
B.     Pembahasan
1.      Latar Belakang Gagasan Islamisasi
Islamisasi Ilmu dikemukakan oleh Ismail Raji al-Faruqi dari Temple University, Amerika Serikat (Al-Faruqi 1982).  Gagasan ini menjadi proyek utama dari The International Institut of Islamic Thought yang di pimpinnya. Usaha yang dilakukan ke arah ini ialah dengan mengadakan seminar-seminar dan menerbitkan jurnal dan buku-buku serta pemabngunan universitas. Tema ini diangkat karena pandangan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang berasal dari peradaban Barat sekuler. Ilmuan sosial Barat mengembangkan teori yang tidak dapat dilepaskan dari perspektif budaya mereka.[1] Karena kebudayaan adalah suatu yang kompleks, mereka juga berbeda pendapat satu sama lain dari segi tertentu sehingga menimbulkan berbagai paradigm dan aliran.
Sedangkan alasan yang melatarbelakangi perlunya Islamisasi dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini berada dalam keadaan yang lemah. Kemerosotan Muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum Muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.  Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat Muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum Muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.[2]
Sadar terhadap bias budaya Barat, ilmuan Muslim berusaha mencari alternatif. Alternatif  tersebut adalah perlunya pengembangan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif Islam yang mana dinamakan dengan gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan ini juga sebagai usaha untuk memahami gejala yang timbul dalam masyarakat dengan bertitik tolak dari pandangan atau kacamata ajaran Islam. [3]
Pendapat lain mengatakan, bahwa munculnya gagasan "Islamisasi Ilmu Pengetahuan" yaitu pada saat diselenggarakannya konfrensi dunia yang pertama tentang pendidikan Muslim dimekkah pada tahun 1977, konfrensi tersebut diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz dengan para sarjana dari 50 negara, guna merumuskan dan merekomendasikan serta membenahi dan menyempurnakan sistem pendidikan islam yang diselenggarakan oleh umat Islam diseluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisi Ilmu Pengetahuan, hal ini dilontarkan oleh Syed Muhammad Al-attas beliau adalah salah satu pelopor Islamisasi Ilmu Pengetahuan .

2.      Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Prof. al-Attas  menyatakan bahwa Islamisasi Ilmu merupakan upaya untuk mengkaji unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusian. Termasuk di dalam unsur-unsur dan konsep-konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme,dan tekanan kepada penguasaan dan tragedi dalam kehidupan rohani. Konsep-konsep seperti ini tidak sepenuhnya benar. Setelah melewati proses kedalam ilmu tersebut ditanamkan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok keislaman. Dengan demikian akan terbentuklah ilmu yang benar yaitu ilmu yang sesuai dengan fitrah. Unsur-unsur dan konsep-konsep keislaman yang dimaksud adalah insan, diin,ilmu, makrifah, adil, amal, adab, dan sebagainya. Jadi Islamisasi Ilmu itu adalah pembebasan ilmu dari pemahaman yang berazaskan kepada ideology makna serta ungkapan sekuler.[4]    
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam, atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi Ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara umum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). [5]
al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka, Islamisasi Ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
Sedangkan menurut Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari Islamisasi Ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Menurut aI-Faruqi, Islamisasi Ilmu Pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.
Dari mafhum Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Attas dan al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.[6]
Islamisasi Ilmu Pengetahuan disini tidak hanya berarti seruan untuk mewujudkan keserasian antara ilmu pengetahuan manusia dengan tuntunan agama, pada tingkat praktek. Tapi yang dimaksud di sini adalah mengantisipasi semua aktifitas keilmun manusia pada dua tingkat, teori dan praktek sekaligus, agar kegiatan keilmuan tersebut terwujud dalam lingkup landasan iman dan terbentuk sesuai dengan tuntunan dan persepsinya yang universal dengan meneladani ilmu-ilmi lain.[7]
Ini artinya dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian dalam dirinya, sesuai dengan fitrahnya
Untuk melakukan Islamisasi Ilmu Pengetahuan tersebut, menurut al-Attas, perlu melibatkan dua proses yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, dan kedua, memasukan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Jelasnya, “ilmu hendaknya diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep utama Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok dikeluarkan dari setiap ranting.
Untuk memperjelas lagi bahwa kedua tokoh menjelaskan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan menurut:Al Faruqi: adalah menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu dengan memberikan definisi baru, mengatur data, mengefaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya. Sedangkan Al Attas menyatakan sebagai proses pembebasan atau pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya, sebagai fitranya.
3.      Islamisasi Sebagai Fenomena serta Pro dan Kontra
Islamisasi ilmu ini menjadi perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak tahun 1970 an. Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara teperinci dan mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya seperti, Syed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka dapat dikatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena modernitas, menarik untuk dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler mencengkeram negeri-negeri Muslim dengan kukuhnya, pemunculan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”. Ia hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban yang sekian lama diabaikan. Tapi, sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”, adakalanya memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah yang ingin coba ditelusuri dalam tulisan ini.
Betapapun diakui pentingnya transfer ilmu Barat ke dunia Islam, ilmu secara tak terelakkan susungguhnya mengandung nilai-nilai yang merefleksikan pandangan dunia masyarakat yang menghasilkannya, dalam hal ini masyarakat Barat. Bagi Al-Attas, sebelum diajarkan lewat pendidikan, ilmu harus ditapis terlebih dulu agar nilai-nilai yang bertentangan secara diametral dengan pandangan dunia Islam dapat diminimalisasi. Secara ringkas, gagasan islamisasi merupakan upaya dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke dalam sistem pengetahuan Islam.
Pihak pro maupun kontra-pun bermunculan. Diantara tokoh yang mendukung “pro” terhadap proyek islamisasi tersebut antara lain adalah Seyyed Hossein Nasr (1933), Ziauddin Sardar (1951) dan beberapa tokoh lain yang menolak adanya westernisasi ilmu.[8] Sedangkan pihak yang menentang “kontra” terhadap gagasan islamisasi ini yaitu beberapa pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga mengkritik gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana Fazlur Rahman, misalnya, dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan memiliki dua kualitas. Dia kemudian mencontohkan seperti halnya “senjata bermata dua” yang harus digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab sekaligus sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.[9]
Melihat dari pro kontra inilah kemudian diskursus mengenai islamisasi menjadi sesuatu hal yang menarik, serta akan menjadi sebuah ‘‘bentuk penilaian’’  bagi para pembaca khususnya para akademisi muslim yang terlibat di dunia pemikiran, dalam melihat ide atau gagasan islamisasi ini. Karena dengan memahami tentang konsep yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail Raji al- Faruqi tentang islamisasi ilmu pengetahuan.
4.      Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Untuk merealisasikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan maka International Institut of Islamic Thought (IIIT) yang dipimpin oleh Ismail Raji Alfaruqi merencanakan gagasan tersebut dalam berbagai langkah diantaranya.[10]
a)      Menguasai dan mahir dalam disiplin ilmu pengetahuan modern
Individu islam terutama sarjana yang beragama islam harus menguasai ilmu pengetahuan modern yang berkembang saat ini, baik prinsip, konsep, metodologi, masalah, dan tema.[11] Pengetahuan modern yang diserap secara mentah oleh setiap individu islam akan mengaburkan kembali tujuan gagasan islamisasi dalam ilmu pengetahuan. Karena ilmu modern yang berkembang saat ini berada di tangan bangsa sekuler sehingga kita perlu mengetahui prinsip konsep, metodologi, masalah, dan tema ilmu pengetahuan itu mengajarkan kepada ketauhidan atau tidak. Bila mengajarkan kepada sekuler dan atheis maka kita luruskan kembali karena ada benarnya sebuah pendapat yang mengatakan ilmu pengetahuan itu bersifat universal. Maka disinilah tugas utama seorang Muslim agar sadar yang walaupun pada saat sekarang “kita” masih mengekor kepada ilmu Barat. Tidak ada salahnya melakukan seperti itu karena saat ini islam dalam keadaan tidur belum menemukan teori dan ilmu baru dari ilmu yang ada. Dalam perjalanannya pasti akan ditemukan teori baru yang diciptakan oleh umat islam yang memilki konsep dan prinsip tauhid dan hal ini sudah terbukti dengan bermunculannya ilmuwan islam saat ini.
b)       Tinjauan disiplin Ilmu Pengetahuan
Langkah ini diupayakan untuk mengetahui disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini yang kemudian dikaji dalam bentuk karya ilmiah yang menuliskan tentang asal-usul, perkembangannya dan metodologi, serta keluasan cakrawala visi dan sumbangan pemikiran para tokoh utamanya.salah satu syarat proses pengkajian ini adalah rujukannya harus bernilai yang berurutan dari buku dan artikel primer.[12] Sehingga secara tidak langsung akan ditemukan sumber asli ilmu pengetahuan tersebut.
c)       Menguasai Warisan Islam
Gagasan islamisasi Ilmu Pengatahuan menjadi kurang bermakna apabila tidak dikaitkan masalah warisan islam yang menyumbangkan ilmu pengetahuan yang sangat besar. Namun sumbangan intelektual Muslim tradisional tentang disiplin ilmu pengetahuan modern tidak mudah didapat, dibaca, dan dipahami oleh seorang intelektual Muslim saat ini alasannya.[13]
Pertama: Ilmu pengetahuan modern tidak terdapat padanannya dalam khazanah intelektual islam. Kedua:  Para sarjana Muslim terutama yang mendapatkan pendidikan Barat (sekuler) sering gagal memahami khazanah warisan islam yang mengaanggap warisan islam tidak memiliki kekuatan apapun terhadap disiplin ilmu yang dipelajarinya. Ketiga:  Para sarjana Muslim tidak memiliki waktu atau usaha untuk meneliti khazanah warisan islam yang amat kaya dan luas.
Sebaliknya para sarjana Muslim yang dididik secara tradisional sebagai otoritas pemilik khazanah warisan islam tidak dapat memecahkan maupun menetapkan keterkaitan warisan tersebut dengan disiplin ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu perlu memperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada sarjana pewaris ilmu pengetahuan islam tradisional begitu pula sebaliknya.yang selanjutnya warisan islam tersebut dianalisis berdasarkan latar belakang sejarah dan kaitan antara masalah yang dibahas dengan berbagai bidang kehidupan manusia secara jelas.
d)      Penentuan Penyesuaian Islam Yang khusus terhadap disiplin-disiplin Ilmu Pengetahuan
Dari ketiga langkah yang sudah disebutkan perlu ditekankan bahwa disiplin ilmu pengetahuan modern beserta metodologi-metodologi dasar, prinsip, masalah, tujuan dan harapan, kejayaan dan batasan-batasannya, semuanya harus dikaitkan dan kepada warisan islam,[14] serta disesuiakan dengan islam. Sehingga ada tiga pertanyaan dalam hal ini yaitu: Apa yang telah disumbangkan islam mulai dari al-Qur’an hingga pendukung modernitas atas permasalahan dalam ilmu pengetahuan , Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan barat,Bagaimana usaha umat islam yang harus dijalankan dalam mengisi kekurangan,merumuskan kembali permasalahan dan memperluas cakrawala visi disiplin ilmu pengetahuan tersebut.
e)       Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Pengetahuan Modern
Hubungan antara islam dan Ilmu Pengetahuan yang telah tegas akibat telah dikuasai, ditinjau dan dianalisis sehingga perlu ada penilaian kritis yang merupakan suatu langkah utama dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan agar disiplin yang dihasilkan tidak ada kekurangan, , kemustahilan, sebaliknya harus ada kesesuaian dengan ketetapan dasar dengan Rukun Islam yang Lima.[15]
f)        Penilaian Kritis terhadap warisan Islam
Yang dimaksud warisan islam disini adalah bukan Al-qur’an dan Sunnah melainkan karya manusia yang berdasrkan kedua sumber tersebut.Hal ini disebabkan karya manusia ini tidak lagi memainkan peran yang dinamis dalam kehidupan umat islam saat ini. Hal ini perlu kaji secara kritis agar warisan tersebut tetap eksis bukan diselewengkan.
g)       Kajian Masalah Utama Umat Islam
Umat islam pada saat sekarang mengahadapi berbagai masalah baik dari segi politik, sosial, ekonomi, intelektual, kebudayaan, moral, dan spiritual. Hal ini memerlukan perenungan dan langkah yang nyata untuk keluar dari semua permasalahan tersebut sehingga diperlukan kajian yang serius dan mendalam. Agar solusi permasalahan tersebut dapat diketahui sehingga jalan untuk melaksanakan gagasan islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat terwujud.
h)      Melakukan Analisis Kreatif Dan Sintesis
Setelah memahami, menguasai disiplin ilmu-ilmu pengetahuan modern dan ilmu-ilmu pengetahuan islam tradisional, menilai kekuatan dan kelemahan keduanya, menetukan kaitan islam dengan bidang-bidang pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin ilmu –ilmu pengetahuan modern; memastikan dan memahami masalah secara komferhensif yang dihadapi oleh umat manusia dari sudut pandang islam di mana kaum Muslimin diperintahkan untuk menjadi syuhada ‘ala al-nas dalam sejarah umat manusia, kini tiba saatnya untuk membentuk sebuah lompatan yang kreatif yang bernafaskan islam yaitu suatu metodologi baru harus dicetuskan untuk mengembalikan supremasi islam di dunia sebagai pendongkrak dan penyelamat peradaban manusia. Jurang pemisah antara ilmu-ilmu islam tradisional dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern dapat dijembatani dengan sebuah sintesa kreatif antarkeduanya. Warisan-warisan islam harus berkesinambungan dengan pencapaian ilmu-ilmu modern dan harus menggerakan batasan ilmu pengetahuan ke arah cakrawala lebih jauh dari apa yang telah digambarkan oleh disiplin ilmu-ilmu pengetahuan modern.
i)        Membentuk kembali disiplin ilmu modern dalam kerangka kerja islam dengan menulis kembali Buku teks agar visi-visi baru tentang pengertian islam serta pilihan-pilihan kreatif sebagai realisasi gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Karena gagasan dengan sebuah buku teks meskipun berkualitas tidak akan mungkin terlaksana sehingga dibutuhkan sejumlah buku-buku teks agar kebutuhan dasar kaum Muslimin akan intelektualitas dapat terpenuhi. Secara tidak langsung ilmuwan Muslim dituntut untuk selalu menghasilkan teori dan ide baru tengang ilmu pengetahuan yang berbasis islam.
 j)  Pendistribusian Ilmu Yang telah di Islamkan
Akan menjadi sia-sia jika sebuah ilmu hanya disimpan sebatas koleksi pribadi, lebih malang lagi jika ilmu itu hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja, atau hanya digunkan dilingkungan pendidikan atau negeri mereka saja. Apapun yang dihasilkan oleh ilmuwan Muslim untuk mendapatkan keridhoan Allah merupakan milik seluruh umat islam. Meskipun akan mendapat royalti tetapi tidak sewajarnya dihakciptakan atau dimonopoli oleh suatu golongan untuk mendapat sebuah keuntungan.oleh karena itu hasil karya tersebut harus terbuka untuk umum. Semua itu untuk membangkitkan, memberi petunjuk dan memperkayakan umat islam serta untuk menyebarkan visi islam. Hasil kerangka kerja Islam tersebut harus diberikan secara resmi kepada pusat-pusat pendidikan tinggi dunia islam dengan pertimbangan menjadi bacaan wajib.[16]
Sedangkan dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
a. Keesaan Allah.
b. Kesatuan alam semesta.
c. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
5. Pentingnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan sangat penting pada banyak tingkat. Tingkat-tingkat tersebut bias disimpulkan pada empat bidang pokok, yaitu sebagai berikut:[17]
a.       Kepentingan Akidah
Kita bisa melihat adanya proses saling mempengaruhi antara aqidah dan Ilmu Pengetahuan didalam pandangan Islam, sebagai suatu hal yang menguatkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan tersebut terbentuk dalam kerangka Islam. Islam sebagaimana telah dikatakan, menuntut bahkan memerintahkan agar diadakan kegiatan keilmuan. Sementara kegiatan yang dipacu oleh motivasi iman ini pada giliranya akan memperkuat pandangan Islam, menyinari dengan nilai-nilai keilmuan, serta menopangnya dengan berbagai sarana penguat, pembuktian, penyebarluasan dan penyentuhanya dengan alam, artinya, “ Islamisasi Ilmu Pengetahuan” adalah suatu kepentigan akaidah yang mempunyai orientasi pokok yaitu membantu umat Islam diseluruh dunia untuk lebih faham dan mengerti tentang tatanan agama yang mereka anut. Dengan demikian akan bertambah keyakinan mereka akan kebenaran Islam dalam membimbing kehidupan manusia sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan.
Jadi Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadis menjadi kaidah fikriyah(landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang diatasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran yaitu suatu asas yang diatasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia.[18]
b.      Kepentingan Kemanusiaan
Ini konsekuensi logis dari uraian sebelumnya . Bila aqidah bertujuan untuk membina insan yang beriman, berfikir, seimbang dan bahagia, maka aktifitas keilmuan yang di kontrol oleh pandangan iman tampil sebagai pembantu bagi terwujudnya tujuan di atas. Kita biasa menggambarkan nilai yang hakiki dari aktifitas seperti ini hanya dengan mengingatkan apa yang diperbuat olah aktifitas keilmuan yang tidak berlandaskan agama terhadap manusia.
 Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang tidak agamis, maka ilmu pengetahuan yang Islami selalu berusaha untuk memberikan manfaat kepada seluruh umat manusia. Sesunguhnya manusia, mutlak manusia, dialah yang pada akhirnya memetik faedah dari ilmu pengetahuan yang Islami. Sebaliknya puluhan umat, bangsa dan kaum yang belum meningalkan ilmu pengetahuan yang tidak agamis padahal seharusnya buah ilmu pengetahuan tersebut berhasil guna pada orang, malah mengarahkan hasil temuanya untuk menciptakan alat pembunuh masal guna menghancurkan, memperbudak atau menguasai orang lain.
  1. Kepentingan Peradaban
Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, umat islam baik hari ini, maupun esok, bisa melewati satu dari dua hal. Boleh jadi umat Islam membaur dengan yangn lain, tapi ia tetap memiliki identitas khusus, atau menghindar sama sekali tanpa menggunakan kemajuan mereka.
Di sini, ketika umat islam berkesempatan untuk melakukan aktivitasnya dalam lingkaran keimanan, mereka akan tahu bagaimana mengambil api suci dari orang lain. Api tersebut bukan digunakan untuk membakar dunia, atau menghancurkan dirinya sendiri. Tapi digunakan untuk membina unsur-unsur ilmu pengetahuan yang diatur menurut tuntunan iman. Bahkan dilanjutkan untuk mengembalikan perananya yang terlupakan, yaitu untuk merehabilitasi alam dengan ilmu pengetahuan yang disinari iman dan bersandarkan pada petunjuk Allah s.w.t.
d.       Kepentingan Ilmiah
Kegiatan ilmiah biasanya sering dilakukan karena keinginan seseorang untuk menciptakan suatu penemuan dan keunggulan. Bila lingkup analisa lebih diperluas kearah berbagai kelompok, maka aktifitas ilmiah biasanya dijadikan sarana untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pembangunan strategis, semua itu adalah motivasi yang bisa saja dijadikan alasan khusus bahwa ia terbukti mampu memacu pergerakan ilmiah ke arah berbagai cakrawala yang belum pernah terlintas di dalam benak manusia, dan telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang mengagumkan serta mewujudkan keunggulan di berbegai bidang.
C.    Penutup
Berdasarkan pada uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah upaya yang dilakuan seseorang untuk mengkaji, memahami sesuatu yang mengkaitkannya kepada ajaran islam, Islam adalah agama yang bersifat universal.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan disini tidak hanya berarti seruan untuk mewujudkan keserasian antara ilmu pengetahuan manusia dengan tuntunan agama, pada tingkat praktek. Tapi yang dimaksud di sini adalah mengantisipasi semua aktifitas keilmun manusia pada dua tingkat, teori dan praktek sekaligus, agar kegiatan keilmuan tersebut terwujud dalam lingkup landasan iman dan terbentuk sesuai dengan tuntunan dan persepsinya yang universal dengan meneladani ilmu-ilmi lain.



DAFTAR PUSTAKA
Bustanidin Agus, Islamiasi Ilmu-Ilmu Sosial, (Padang, Laboratorium Sosiologi FISIP Unand, 2005)
_______________, Ilmu Sosial Dalam Perspektif Islam,(Padang, AngkasaRaya,2003)
Hermawati , Sosiologi Islam, (Jakarta: Yayasan Nuansa Madani, 2000)

Imaduddin Kalil, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Sejarah, (Jakarta: Media Dakwah, 1994),
International Instiutut of Islamic Thought, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemhan (Jakarta: Lontar Utama,2000)
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989)
Nadwi, Abul Hasan Ali., Islam dan Dunia, (Bandung : Angkasa,2008)
 2.bp.blogspot.com diunduh tanggal 23 maret 2011
Taqiyuddin An-Nabhami, Nizham al-Islam,tanpa tempat penerbit;Hizbut Tahrir,2001
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/ diunduh tanggal 23 maret 2011




[1] . Bustanidin Agus, Islamiasi Ilmu-Ilmu Sosial, (Padang, Laboratorium Sosiologi FISIP Unand, 2005)h. 86
[2] Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1989).h.40

[3] . Bustanidin Agus,  Ibid. h. 86
[4]. Hermawati , Sosiologi Islam, (Jakarta: Yayasan Nuansa Madani, 2000), h.89-90
[5] International Instiutut of Islamic Thought, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Terjemhan (Jakarta: Lontar Utama,2000)h. 81
[6] . Imaduddin Kalil, Pengantar Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Sejarah, (Jakarta: Media Dakwah, 1994), h. 4
[7] . Ibid. h. 7
[8] .Seyyed Hossein Nasr menolak sains Barat modern dan mengusulkan scientia sacra sebagai alternatif dalam  karyanya Knowledge and the Sacred (Pakistan: Suhail Academy Lahore, 1988). Sedangkan Ziauddin Sardar dan teman-temannya membentuk Gagasan Idjamali (Idjmali Idea).  Lihat dalam bukunya Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu (ISID Gontor: Center for Islamic & Occidental Studis, 2007), p. 10
[9] . Dikutip dari Adnin Armas, Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, p. 18

[10] . IIIT, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Lontar Utama, 2000), cet ke-1, hlm. 75-91
[11]. Ibid
[12] .Ibid.76
[13]. Ibid, h. 77
[14] . Ibid, h.79
[15] . Ibid, h.81
[16] .Ibid.h.88
[17] Imaduddin Khalil,Op.cit,.hlm.8-15
[18] An-Nabhami, Taqiyuddin, Nizham al-Islam,tanpa tempat penerbit;Hizbut Tahrir,2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar